HAMPIR bisa dipastikan sebagian
besar orang mengartikan “kebudayaan” sebagai “kesenian”, meskipun
sebenarnya kita semua memahami bahwa kesenian hanyalah bagian dari
kebudayaan. Hal ini tentulah karena kesenian memiliki bobot besar dalam
kebudayaan, kesenian sarat dengan kandungan nilai-nilai budaya, bahkan
menjadi wujud dan ekspresi yang menonjol dari nilai-nilai budaya.
Kebudayaan
secara utuh sebenarnya meliputi pola pikir atau mindset suatu
masyarakat (tentang segala perikehidupannya di masa lampau, masa kini
dan masa depan), yang banyak terekspresikan melalui aneka-ragam dan
aneka dimensi kesenian. Demikian pula, kesenian merupakan salah satu
wadah dominan untuk mengartikulasikan kebudayaan tak berwujud (intangible culture).
Seperti juga yang diutarakan Meutia Farida Hatta Swasono di Institut
Seni Indonesia Yogyakarta beberapa waktu lalu bahwa kemajuan kebudayaan
bangsa dan peradabannya membawa serta, dan sekaligus secara timbal-balik
dibawa serta, oleh kemajuan keseniannya.
Lalu bagaimana peranan kesenian tradisonal dalam konsep ketahanan budaya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya perlu beberapa anternatif langkah. Pertama, perlu mengidentifikasi kesenian-kesenian tradisonal tertentu yang dominan dan sinambung (viable), yang memiliki peluang untuk dikembangkan dan diperkaya, serta dapat menarik munculnya daya apresiasi masyarakat. Kedua,
kesenian-kesenian tradisional terpilih diartikulasikan sesuai dengan
tuntutan perkembangan sosial, sehingga mudah beradaptasi dan mendorong
kepekaan umum terhadap nilai-nilai keanggunan seni. Ketiga, mendorong dinamika seni menjadi kreasi dan santapan segar untuk kelengkapan kehidupan sehari-hari, menjadikannya semacam way of life.
Kesenian sebagai Nilai Tambah Kultural
Bertolak
dari pernyataan tersebut dapatlah dikemukakan bahawa pembangunan
kesenian daerah (tradisonal) adalah pembangunan nilai-nilai seni dan
apresiasi seni demi meningkatkan kemartabatan seniman dan masyarakat,
sekaligus juga meningkatkan mutu seni dan apresiasi terhadap kesenian.
Dengan
demikian, dalam pembangunan nasional, kesenian sebagai bagian dari
kebudayaan nasional memperoleh maknanya dalam kaitan dengan pemahaman
dan apresiasi nilai-nilai kultural. Oleh karena itu, untuk meningkatkan
ketahanan budaya bangsa, maka pembangunan nasional perlu bertitik-tolak
dari upaya-upaya pengembangan kesenian yang mampu melahirkan
“nilai-tambah kultural”.
Pakem-pakem
kesenian (lokal dan nasional) perlu tetap dilanggengkan, karena berakar
dalam budaya masyarakat. Melalui dekomposisi dan rekonstruksi,
rekoreografi, renovasi, revitalisasi, refungsionalisasi, disertai
improvisasi dengan aneka hiasan, sentuhan-sentuhan nilai-nilai dan nafas
baru, akan mengundang apresiasi dan menumbuhkan sikap posesif terhadap
pembaharuan dan pengayaan karya-karya seni. Di sinilah awal dari
kesenian daerah menjadi kekayaan budaya dan “modal sosial-kultural”
masyarakat.
Di
sisi lain kita harus menyadari bahwa kesenian daerah (tradisional) pada
dasarnya adalah anonim. Bahkan, lebih jauh lagi ia juga tak bisa
dibatasi atas klaim wilayah. Ia menjadi tak terbatasi oleh garis yang
pasti (borderless). Untuk itulah, jika kesenian ditempatkan
sebagai sarana menciptakan ketahanan budaya suatu bangsa maka persoalan
makna ketahanan budaya tersebut harus disikapi sebagai ketahanan
nasional.
Studi
kasus bangsa Indonesia misalnya, selama ini ia sedang berusaha
memelihara eksistensi dan soliditas sosialnya untuk tidak kehilangan
kesadaran diri, tidak kehilangan jatidiri, harga diri, atau pun sejarah
peradabannya. Eksistensi dan soliditas bangsa ini akan terjaga dengan
baik jika pembangunan dan pengembangan seni memperkukuh kesadaran diri
dan jatidiri kita sebagai bangsa yang anggun dan beradab.
Seumpama
kesenian dapat dianalogkan dengan ekonomi misalnya, maka pembangunan
ekonomi yang bermakna sebagai upaya untuk meningkatkan “nilai-tambah
ekonomi”, maka pembangunan kesenian dan kebudayaan akan
bermakna sebagai upaya meningkatkan “nilai-tambah kultural”. Nilai
tambah kultural pada dasarnya juga memuat makna nilai-tambah
kemartabatan, nilai-tambah kebanggaan, nilai-tambah jatidiri dan
nilai-tambah akal-budi serta budi pekerti. Hal ini erat kaitannya dengan
apa yang dicita-citakan oleh kemerdekaan bangsa ini, yaitu cita-cita
untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Mencerdaskan
kehidupan bangsa bukanlah makna yang berdasarkan pada konsepsi iptek
atau pun konsepsi biologi-genetika, melainkan merupakan suatu konsepsi
budaya. Dengan demikian “mencerdaskan kehidupan bangsa” merupakan upaya
untuk meningkatkan kekayaan batin, meningkatkan kadar budaya bangsa,
kadar kemadanian, sebagai suatu proses humanisasi mencapai keadiluhungan
yang mengungguli basic instincts, untuk mengangkat harkat dan derajat insani dari bangsa kita.
Ketahanan Budaya dan Globalisasi
Memang harus diakui bahwa ancamanan globalisasi tak bisa dihindari. Ketahanan budaya ini tentu harus selalu kita
artikan secara dinamis, di mana unsur-unsur kebudayaan dari luar ikut
memperkokoh unsur-unsur kebudayaan lokal. Untuk itu, perlu kita
kemukakan bahwa proses globalisasi, yang dikatakan dapat mempertajam “clash of civilizations”,
dan – meminjam istilah Samuel Huntington – juga dapat mengakibatkan
perusakan berat terhadap peradaban, kemasyarakatan dan kesadaran etnis (exacerbation of civilizational, societal and ethnic self-consciousness),
tidak perlu mengakibatkan pelumpuhan yang memarginalisasi eksistensi
bangsa ini, selama kita memiliki ketahanan budaya yang tangguh. Dalam
pengertian ini, jelas bahwa bila kita bicara mengenai ketahanan budaya,
pada dasarnya kita berbicara pula mengenai pelestariannya dan
pengembangannya secara dinamis dengan upaya-upaya yang lebih khusus.
Globalisasi
memiliki banyak pengertian. Sebagian berpendapat, globalisasi semacam
penciutan dunia. Mereka mengistilahkannya sebagai kampung global.
Sebagian lagi berpandangan, globalisasi adalah penyatuan dunia. Namun
pengertian ini bukan berarti penyeragaman budaya. Yang jelas hingga
kini, sebagian besar ilmuan masih berselisih pendapat soal pengertian
globalisasi. Bahkan definisi yang mereka ajukan masih menyisakan banyak
ketidakjelasan.
Namun demikian, setidaknya ada dua perspektif utama mengenai globalisasi. Perspektif pertama
berkeyakinan bahwa globalisasi merupakan sebuah strategi untuk
penyeragaman dan memberikan model sistem nilai yang tunggal di tingkat
global. Seluruh budaya lokal akan digerus dalam proyek globalisasi
sehingga pluralitas yang ada akan berujung pada sebuah tatanan tunggal.
Perspektif ini lahir dari pandangan yang berkembang di kalangan
pemikiran dan politisi Barat, khususnya pada abad ke-18.
Globalisasi
dalam pengertian mereka, semacam ruang dua kutub mengenai isu identitas
budaya, sosial, dan nasional, sedang di sisi lainnya mereka melontarkan
ide pemusnahan identitas lokal. Dengan mencermati perkembangan dalam
beberapa dekade terakhir ini, tampak jelas adanya upaya para politisi
negara-negara Barat, semacam AS berusaha menyeret dunia menuju tatanan
tunggal berdasarkan nilai-nilai Barat. Sebagian besar ilmuan bahkan
menyebut model globalisasi kultural semacam itu sebagai imperialisme
budaya yang lebih terkesan nyata di lingkungan media massa dan seni.
Sebagai contoh, acara-acara televisi, filem, dan musik pop merupakan
perangkat utama imperialisme budaya. Dengan demikian, seni bisa menjadi
perangkat paling efektif di berbagai bidang yang bisa membantu para
perancang globalisasi kultural merealisasikan ambisinya.
Perspektif kedua, globalisasi
berseberangan nyata dengan perspektf pertama. Berdasarkan pandangan
kelompok kedua ini, globalisasi berjalan dengan penguatan budaya dan
seni lokal. Mereka berpendapat, meski dunia saat ini sedang mengalami
proses globalisasi, namun bangsa-bangsa dunia tidak menyerah begitu
saja. Kekuatan dan kemampuan budaya lokal dan regional juga dirasa makin
menguat.
Seorang
peneliti asal India, Doktor Abhay Kumar Singh pernah mengatakan:
“Globalisasi dalam bentuk awalnya, mungkin terbilang sebagai bencana
bagi kesenian kita. Ia seperti angin topan yang bisa mencerabut apa saja
hingga ke akar-akarnya. Namun dalam perspektif yang lain, globalisasi
bisa dipandang sebagai kesempatan istimewa bagi bangsa-bangsa dunia yang
terbilang kaya dari segi budaya. Seni makin maju hingga mempengaruhi
dunia. Sejarah membuktikan bahwa di berbagai masa, seni peradaban Iran,
India, dan Romawi telah tersebar hingga ke negeri-negeri yang jauh.
Masalah seperti itu bisa terulang kembali. Sejatinya, bangsa-bangsa yang
meyakini akar-akar budayanya, tentu tidak akan takut akan budaya asing.
Kita harus berusaha dan tahu bagaimana seni bisa menjadi alat untuk
membela tradisi dan budaya lokal”.
Perspektif
yang kedua tentang globalisasi ini mulai muncul dan berkembang pada
akhir abad ke-20. Hingga masa-masa awal millenium ketiga, perdebatan
soal globalisasi masih belum juga usai. Para pakar dan peniliti sosial
masih asyik berwacana tentang perangkat dan pengaruh globalisasi
terhadap budaya dan seni masyarakat. Makin berkembangnya teknologi
infomasi, komunikasi, dan kebudayaan bangsa-bangsa dunia di awal abad
ke-21 membuat batas-batas geo-politik negara tak lagi berperan penting.
Kekhasan utama abad sekarang adalah begitu cepatnya proses pertukaran
informasi. Karena komunikasi elektronik berjalan setiap saat yang
menyambung berbagai ruang yang terpisah seakan menyatu. Jaringan
komunikasi global telah menjadikan manusia berkuasa untuk mengalami
dunia sebagai satu unit.
Dunia
saat ini memerlukan hubungan kerjasama yang positif sekaligus menerima
beragam pluralitas yang ada. Masyarakat global mesti bisa memandang
dunia sebagai satu kesatuan di tengah pelbagai perbedaan yang ada.
Karena itu, kita mesti memiliki visi baru mengenai hubungan dan
kerjasama regional dan internasional. Sehingga dunia terus berjalan dan
bisa diminimalisir dari segala bentuk ketegangan, konflik, intervensi
dan hegemoni kekuatan adidaya.
Tentu
globalisasi, selain harus kita waspadai, juga harus kita lihat sebagai
kesempatan-kesempatan baru. Kita harus proaktif di dalamnya. Di situ
kita harus “go global” dengan local specifics Indonesia,
sehingga Indonesia lebih dikenal sebagai aktor tangguh dalam proses
globalisasi, baik dari aspek budaya maupun dari aspek keuntungan ekonomi
yang dapat diperoleh dari perkembangan kesenian dan kebudayaan
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar